Syarief Makhya
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung Keputusan Mahkamah Konstitusi merevisi beberapa pasal dalam UU No.32 Tahun 2004 antara lain Pasal 59 (3) yang diubah menjadi “membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”. Revisi terhadap pasal tersebut maka dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mengusung calon kepala daerah tidak hanya dicalonkan dari partai politik tapi juga dicalonkan melalui perseorangan (non-partai). Keputusan MK meloloskan calon independen, tentu saja memberikan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mencalonkan diri. Selama ini, peraturan yang memberikan kewenangan parpol melakukan perekrutan politik tidak memberikan peluang yang demokratis dan transparan bahkan disalahgunakan oleh sebagian elite parpol untuk mematikan proses perekrutan politik yang demokratis. Tidak mengherankan jika partai telah dianggap sebagian masyarakat sebagai lembaga perantara politik yang “memeras” kandidat yang ingin menjadi kepala daerah. Persepsi tersebut tidak mudah dibuktikan, tetapi gejala ini bukan lagi sekadar rumor (kabar angin) melainkan telah menjadi isu politik yang mencemaskan dan menggerogoti masa depan demokrasi. (JB, Kristiadi, 2007). Keberadaan calon independen tentu menjadi tantangan serius terutama bagi parpol karena setidak-tidaknya ada dampak yang tidak meguntungkan terhadap keberadaan parpol, yaitu: (a) jika pasangan yang diusung parpol kalah, maka kepercayaan masyarakat akan terus merosot terhadap parpol, (b) parpol akan kehilangan sumber pembiayaan ongkos politik dalam pilkada, karena tradisi menyewa perahu dengan sendirinya akan segera ditinggalkan. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, maka sudah barang tentu kehadiran calon independen akan memberikan dampak yang positif teradap persaingan politik dalam memperbutkan jabatan politik, antara lain: (a) rakyat sebagai pemilih akan memperoleh banyak pilihan untuk menentukan calon kepala daerah yang dinilainya paling layak dan berkualitas. (b) Tampilnya calon independen diharapkan bisa memperbaiki iklim pasar politik. Jika dengan monopoli parpol atas pencalonan kandidat melahirkan produk-produk kepemimpinan yang buruk dengan harga politik yang mahal, pasar politik bisa disehatkan melalui pengembangan kompetisi dengan calon non-partai. Kesertaan calon independen akan memaksa partai politik untuk memperbaiki fungsi dan kinerjanya, tidak akan sembarangan memilih kandidat, jika ingin meraih dukungan publik. Kegandrungan masyarakat akan calon independen setidaknya diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan. Pertama, mendobrak partitokrasi (demokrasi yang dikangkangi partai politik) agar aspirasi dari bawah mendapatkan tempat dalam proses politik. Kedua, memungkinkan calon dari masyarakat yang dianggap publik lebih berkualitas daripada sekadar figur yang diusung segelintir elite partai politik. Ketiga, mendorong demokratisasi internal partai politik. (JB, Kristiadi, 2007). Sebenarnya calon independen juga tidak menjamin munculnya sosok pemimpin yang ideal. Sebab, ini harus kembali kepada rasionalitas pemilih. Misalnya, di Amerika Serikat saja calon-calon lebih banyak diusung oleh partai dan calon independen cenderung tidak laku. Calon presiden dan calon gubernur di negara bagian di Amerika mengalami proses perekrutan yang panjang serta figur itu merupakan kader partai yang terbaik, karena publik sangat rasional. Dan, mekanisme rekrutmen yang dilakukan oleh partai di Amerika sangat demokratis dan prosesnya betul-betul bisa dipertanggungjawabkan. Pertimbangan lain calon independen di AS, karena negara itu menganut sistem biparty, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik, jadi wajar bila yang tidak setuju dengan kedua partai tersebut, diakomodasi oleh calon independen. Negara-negara yang menganut multipartai tidak lagi membutuhkan jalur non-partai atau independen karena semua aspirasi mestinya sudah tertampung dalam wadah partai (Budi Darmawan, 2007). Namun, bangunan kekuasaan di AS ternyata tidak bisa disamakan dan dipraktekkan di Indonesia, karena rasionalitas pemilih dan kondisi kepartaiannya sangat berbeda. Kini, di kalangan sebagian besar masyarakat khususnya non-partai politik sepakat jika calon independen diakomodasi sebagai bagian dari upaya untuk membangun proses kehidupan demokrasi yang lebih berkualitas. Masalahnya, bagaimana implikasi politik dari keberadaan calon independen tersebut khususnya terhadap persaingan politik dan keberlangsungan pemerintahan? Efektivitas Pemerintahan Untuk bisa memenangkan pilkada bagi calon independen tentu bukan persoalan yang mudah, karena calon independen tidak memiliki mesin politik yang efektif. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang bisa mengakses kepada pemilih, sehingga membutuhkan managemen pemenangan yang efektif. Di samping itu, kendatipun calon independen ini bersifat terbuka bagi masyarakat, tetapi dalam prakteknya memiliki keterbatasan karena ada persyaratan-persyaratan realitas ongkos politik yang tidak bisa dijangkau oleh semua orang. Oleh sebab itu, calon independen sesungguhnya hanya memberi kesempatan kepada pemilik modal, pengusaha, para pejabat birokrasi sipil atau militer, atau tokoh masyarakat/agama yang memiliki dukungan finansial yang memadai. Di samping itu, calon independen juga membutuhkan jaringan masa yang kuat. Tanpa dukungan jaringan masa, calon independen tidak memiliki jangkauan yang luas untuk bisa memengaruhi masa ke lapisan masyarakat bawah. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi yang memiliki jumlah massa yang banyak dan menjangkau secara hirarkis ke desa, seperti NU, Muhammadiyah atau kelompok agama lainnya akan menjadi rebutan pengaruh. Demikian halnya, organisasi perwakilan kepentingan seperti HKTI, PGRI, dan organisasi profesi bisa dijadikan sandaran untuk kepentingan calon independen dalam mempengaruhi masa. Khusus untuk pemilihan gubernur, calon independen juga harus mempunyai relasi kekuasaan dengan para bupati/wali kota dan jaringan birokrasi pemerintahan, karena hingga sekarang masih bisa dijadikan mesin politik yang efektif untuk melakukan proses penggiringan masa pemilih. Problem lain yang dihadapi oleh calon independen adalah jika terpilih maka calon independen harus bisa mengatur keseimbangan kekuasaan dengan anggota legistatif karena sebagai konsekuensi calon independen tidak mempunyai dukungan politik dari partai politik, maka tentu tidak akan memperoleh dukungan politik di lembaga legistatif. Pada tataran ini ada kehawatiran kalau-kalau kehadiran calon independen justru akan memperburuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perspektif ini, maka keberadaan calon independen seharusnya didukung bangunan kekuasaan yang efektif yang menyangkut hubungan antara relasi kekuasaan antara eksekutif dan legistatif, sistem pemerintahan daerah dan sistem kepartaian. Tampaknya, karena konstruksi kekuasaan belum dirancang untuk membangun efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pada akhirnya untuk menjaga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan seringkali terjadi inkonsistensi sikap politik. Misalnya, untuk menjaga kesimbangan kekuasaan, kepala daerah kemudian masuk partai atau diberi tawaran untuk memimpin partai politik tertentu. Dalam kondisi demikian, kepala daerah yang awalnya calon independen menjadi kehilangan maknanya karena akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap keberlangsungan pemerintahan. Proses keberlangsungan pemerintahan akan tetap saja dikendalikan oleh kepentingan partai politik. n *** |
ada g pak definisi calon independen dr para ahli???
makasih…. 🙂
tidak ada kecuali dukungan dengan ktp
mohon penjelasan undang-undang ataupu peraturan pemerintah nomor berapa saja yang dipedomani untuk syah maju sebagai calon independen. TK
Hormat saya
Thomas Sudarso
http://www.jalur-independen.org