PROGRAM PRO PUBLIK DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN NASIONAL
Oleh: Hendarmin Ranadireksa
Disampaikan dalam acara Seminar Nasional dengan tema “KEPEMMPINAN NASIONAL DI INDONESIA PASCA REFORMASI” Sabtu, 14 Maret 2009, diselenggarakan oleh Universitas Langlangbuana, Gedung Wisma Buana, Jl Karapitan No. 116 Bandung.
A. Kedudukan rakyat dalam negara demokrasi.
Dampak paling nyata atas tumbangnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan despotis dan represif Soeharto yang berkuasa tidak kurang dari 32-tahun (1966-1998), adalah hadirnya kembali kebebasan bagi rakyat untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Indonesia mulai menapaki kembali demokrasi yang, sejak hampir empat dekade hilang dari bumi persada. Sebagaimana umumnya, manakala kebebasan hadir, apalagi secara amat tiba-tiba, menimbulkan eforia, eforia kebebasan, dalam masyarakat yang lama tertekan dan terkungkung oleh hegemoni kekuasaan. Namun, eforia yang terlalu lama hanya akan mengantar ke situasi khaos, kebebasan diartikan demi kebebasan itu sendiri. Kebebasan menjadi nir makna. Hal yang menjadi kekhawatiran filsuf kenegaraan mulai dari Plato, Aristoteles, Polybius di era sebelum masehi hingga George Santayana di era modern.[1] Pertanyaannya, adakah sistem pemerintahan yang lebih bisa diandalkan selain demokrasi?
Dalam demokrasi rakyat adalah obyek sekaligus subyek. Sementara untuk non demokrasi (teokrasi, otokrasi, oligarkhi) rakyat hanyalah obyek dan tidak memiliki hak apapun untuk menyatakan kehendak ataupun pendapatnya karena subyek terletak pada penguasa. Selama rakyat bebas menyatakan pendapat dan/atau berkehendak tentang segala sesuatu dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara (kesejahteraan, keadilan, kepemimpinan, hingga ke sistem pemerintahan negara, bahkan kehendak atau wacana untuk tidak berdemokrasi sekalipun), hakekatnya ia berada dalam sistem demokrasi. Maka judul tulisan “Program Pro Publik dan Tantangan Kepemimpinan Nasional” tidak bisa lain harus diartikan dalam konteks pelaksanaan demokrasi yang berkedaulatan rakyat, demokrasi tanpa imbuhan kata apapun.
B. Pemilu di Indonesia.
Pemilu (dan referendum), dalam demokrasi, adalah manifestasi kongkret asas kedaulatan rakayat. Melalui pemilu rakyat menentukan pilihan atas pemimpin, untuk kurun waktu tertentu, yang dinilai mampu mengelola pemerintahan dan/atau untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa. Dengan pemilu akan diperoleh pemerintahan yang memiliki legitimasi politik artinya, pemerintahan yang didukung mayoritas rakyat, tidak semata sah secara hukum (yang oleh Orde Baru dijadikan landasan untuk mengelola kekuasaan).[2] Pemerintahan dengan kategori itu yang dituntut kaum reformis pasca tumbangnya Orde Baru. Namun demikian, di Indonesia, adagium bahwa pemilu adalah solusi untuk mengatasi permasalahan bangsa, selalu saja menghadirkan fakta berbeda.
Di bawah naungan UUDS 1950, yang banyak dipersepsikan sebagai sistem parlementer, Indonesia menyelenggarakan pemilu pertama, 29 September 1955, untuk memilih anggota DPR, menyusul kemudian pemilu kedua, 15 Desember 1955, untuk memilih anggota konstituante (lembaga negara pembuat UUD untuk mengganti UUDS 1950).[3] Tahun 1957 masih sempat diselengarakan pemilu untuk memilih anggota DPRD Provinsi. Juni 1957 pemilu untuk memilih anggota DPRD di wilayah Indonesia bagian barat dan Juli 1957 di wilayah Indonesia bagian timur.[4] Premis bahwa pemilu membutuhkan biaya besar belum ada, tidak mahal dan memang tidak perlu mahal. Pemilu masih dipahami sebagai konsekuensi langsung atas pilihan demokrasi. Ironisnya, kendati diakui, pun hingga kini, sebagai pemilu paling demokratis, namun di kemudian hari pemilu 1955, lebih khusus lagi demokrasi, yang dijuluki sebagai ‘demokrasi liberal’, dinilai sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan politik. Sitem parlementer dipersalahkan sebagai penyebab mudah terjadinya gonta-ganti kabinet yang mengakibatkan negara tidak sempat membangun.[5] Sejak pemberlakuan kembali UUD 1945 (Dekrit Presiden, 5 Juli 1959) hingga runtuhnya kekuasaan Bung Karno (1966), tidak pernah ada lagi pemilihan umum di Indonesia.
Orde Baru menghadirkan kembali pemilu dalam khasanah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pemilu pertama, 1971 diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD Tk I dan DPRD Tk II, yang kesemuanya dilakukan dalam satu masa pemilihan. Orde Baru mulai memperkenalkan sistem pemilu ‘borongan’. Pemilu kedua era Orde Baru diselenggarakan tahun 1977. Sejak itu Orde Baru melaksanakan pemilu secara reguler setiap lima tahun hingga 1997. Yang perlu dicatat adalah dari enam kali pemilu yang diselenggarakan, agaknya hanya pemilu 1971 yang memberikan harapan pada rakyat (terlepas dari di periode itupun ada sebagian masyarakat yang merasa adanya tekanan dan intimidasi aparat penguasa untuk hanya memilih Golkar, hal yang melanggar asas bebas dan rahasia). Selanjutnya pemilu demi pemilu yang diselenggarakan rezim jauh dari antusiasme masyarakat. Partisipasi rakyat terhadap pemilu lebih diakibatkan oleh keterpaksaan. Untuk memberikan kesan gairah rakyat kemeriahan pemilu sengaja diciptakan penguasa untuk mencitrakan adanya ‘Pesta Demokrasi’. Orde Baru mempraktekkan pemilu hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.[6] Artinya pemilu bukan untuk mengatasi solusi yang tengah dihadapi bangsa.
Pasca Orde Baru, tanpa disertai kejelasan format politik, dalam eforia kebebasan dan hingar bingar politik, pemilu 1999 digelar diikuti 48-partai politik, termasuk partai yang berkiprah di era Orde Baru (PPP, Golkar, dan PDI). Atas jumlah tersebut banyak kalangan pengamat yang menilai sebagai terlalu banyak. Padahal apabila dibandingkan dengan peserta pemilu 1955, jumlah tersebut masih jauh lebih sedikit (vide: catatan kaki no. 3). Dalam pemilu 2004 untuk pertama kalinya diberlakukan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung (tidak semata memilih anggota legislatif). Namun demikian, produk pemilu pasca Orde Baru juga tidak pernah sepi dari kontroversi. Kontroversi selalu terjadi baik di pemilu nasional hingga pilkada. Materi yang dipersengketakan selalu sama, ketidakpercayaan atas perolehan hasil perhitungan suara dan/atau ketidaksudian menerima kekalahan. Hal yang kemudian diperparah oleh sikap dan perilaku kurang terpuji sejumlah pejabat legislatif, yang luas diberitakan di media cetak dan elektronik. Kesemuanya berdampak pada meluasnya skeptisisme masyarakat terhadap pemilu. Sikap abai masyarakat atas sendi utama demokrasi perlu diwaspadai karena langsung atau tidak langsung akan mengancam kelangsungan hidup demokrasi itu sendiri.
Dalam nuansa apatisme yang mulai merebak dan dalam iklim krisis finansial global, tahun ini, tahun 2009, akan berlangsung pemilu legislatif (9 April 2009) menyusul tiga bulan setelah itu, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Di tengah ancaman krisis global ‘pesta demokrasi’ kali ini akan menelan biaya negara tidak kurang dari Rp 22,7 Trilyun yang disalurkan melalui KPU. Biaya tersebut setara dengan biaya untuk memperbaiki dan/atau melengkapi 100.000 (seratus ribu) buah sekolah sebesar Rp 227 juta/sekolah. Belum lagi bila diperhitungkan dengan besarnya biaya yang harus disediakan calon legislatif yang jumlahnya ribuan itu dan calon presiden/wakil presiden yang berjumlah belasan bahkan mungkin, puluhan, dan biaya yang harus dipersiapkan partai kontestan pemilu yang jumlahnya 44 buah (38 partai nasional + 6 partai lokal).[7] Adakah pemilu akan menghasilkan elit pemimpin (legislatif pusat, provinsi, kabupaten/kota) dan kepemimpinan nasional (presiden dan wakil presiden) yang mampu menghasilkan ‘program pro publik’ yakni program yang berorientasi pada kepentingan rakyat? Skema di bawah akan memberikan gambaran bahwa jawaban atas pertanyaan dimaksud sangat tergantung pada sistem.
C. Skema dasar Pemilu.
Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk, Rakyat.
Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media – 2007, Gambar 9.
Gambar 1
Keterangan:
1. Rakyat melalui partai (partai adalah rakyat) atau, rakyat selaku perseorangan, dicalonkan atau mencalonkan diri untuk dipilih di legislatif (sistem parlementer ataupun sistem presidensial) dan/atau, rakyat melalui partai atau, rakyat selaku perseorangan mencalonkan diri untuk dipilih menjadi presiden (sistem presidensial). Pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan terpisah.
2. Calon terpilih menduduki kursi legislatif (sistem parlementer ataupun presidensial). Dalam sistem parlementer partai pemenang membentuk kabinet pemerintahan (eksekutif), pimpinan partai pemenang otomatis sebagai kepala pemerintahan (Perdana Menteri).
3. Presiden/wakil presiden terpilih (sistem presidensial) menduduki kursi kepresidenan (selaku kepala negara dan kepala pemerintahan).
Catatan:
· Hak memilih ada pada warga negara namun hak dipilih hanya pada rakyat (militer, birokrasi termasuk jaksa, polisi, dan hakim tidak punya hak untuk dipilih).
· Jabatan politik adalah jabatan kepercayaan publik. Calon-calon yang akan dipilih harus memenuhi persyaratan awal, memperoleh kepercayaan publik artinya diusulkan / dicalonkan rakyat (partai adalah rakyat) dan dipilih oleh rakyat (publik).
D. Skema terbentuknya pemerintahan.
1. Sistem Parlementer.
Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007, Gambar 05.
Gambar : 6
Keterangan:
1. Calon-calon legislatif a.n. partai berkampanye dalam pemilu menawarkan visi & program partai yakni tentang apa yang yang akan diperjuangkan di pemerintahan apabila menang pemilu.
2. Konstituen memilih partai yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Poin 1 dan 2 adalah bentuk “Kontrak Sosial” (Rousseau) dalam sistem parlementer.
3. Partai pemenang (melalui parlemen) membentuk pemerintahan (Kabinet Parlementer) diketuai perdana menteri (PM) selaku kepala pemerintahan (KP). PM adalah pimpinan partai pemenang. Partai pemenang disebut partai pemerintah (PP). Kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Partai yang tidak memerintah menempatkan diri sebagai partai oposisi (PO), atau memilih netral. Apabila perolehan suara legislatif <50%, PP perlu membentuk koalisi (kabinet koalisi). Menteri kabinet bertanggung jawab pada partai.
4. “Mosi Tidak Percaya” adalah pencabutan mandat kabinet oleh parlemen yang berarti kabinet bubar. Kabinet baru hanya bisa dibentuk setelah ada pemilu (pemilu sela, bukan dari hasil pemilu lama).
Catatan:
§ Dalam sistem parlementer obyek yang diperebutkan adalah Parlemen. Parlemen & Kabinet (legislatif & eksekutif) adalah faktor variabel.
§ Kepala Negara (KN) (Raja/Ratu, Presiden) adalah simbol representasi negara (unsur konstanta).
§ Pemilu bukan kewajiban melainkan hak rakyat.
§ Sistem Parlementer disebut sebagai “Sistem Tradisi Partai Kuat” (Bambang Cipto, Drs., M.A., Prospek dan Tantangan Partai Politik, Pustaka Pelajar, 1996).
2. Sistem Presidensial.
Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007, Gambar 07.
Keterangan Gambar 7:
1. Calon presiden/wakil presiden (diusulkan partai atau perorangan) berkampanye menawarkan visi & program pemerintahan (bukan ideologi partai).
2. Konstituen memilih calon presiden/wakil presiden yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Poin 1 dan 2 adalah bentuk “Kontrak Sosial” (Rousseau) dalam sistem presidesial.
3. Kader partai (tidak tertutup kemungkinan, perorangan) berkompetisi untuk duduk di lembaga legislatif (unikameral atau bikameral).
4. Konstituen pemilih memilih calon/calon-calon legislatif.
5. Legislatif (sistem presidensial) menterjemahkan “Kontrak Sosial” (janji kampanye presiden terhadap rakyat) menjadi UU sekaligus berfungsi selaku pengontrol kinerja Presiden. Catatan: Kendati diusung partai, legislatif lebih bersifat sebagai wakil rakyat ketimbang wakil partai. Sistem presidensial tidak mengenal istilah ‘partai oposisi’.
Gambar 7
Catatan:
§ Dalam sistem presidensial obyek utama yang diperebutkan adalah Presiden (KP dan KN) à kepala negara adalah milik bangsa maka tidak layak bagi presiden menjadi ketua atau fungsionaris partai.
§ Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat.
§ Presiden membentuk kabinet. Kabinet bertanggung jawab pada presiden. Sistem presidensial tidak mengenal istilah kabinet koalisi.
§ Presiden adalah faktor variabel, parlemen (legislatif) lebih sebagai unsur konstanta.
§ Selaku pemangku fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, kedudukan presiden, relatif lebih kuat dari legislatif dan yudikatif.
§ Pemilu presiden terpisah, dan lebih dahulu, dari pemilu legislatif.
§ Sistem presidensial disebut sebagai “Sistem Tradisi Partai Lemah” à kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. (Bambang Cipto, Drs., M.A., Prospek dan Tantangan Partai Politik, Pustaka Pelajar, 1996, h. 41).
3. UUD 1945 Amandemen IV.
Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia, Fokus Media, 2007, Gambar 31 & 32.
a. Kemungkinan I:
Partai Pemerintah (koalisi) menguasai mayoritas suara di parlemen.
Gambar 8
Keterangan:
1. Kader-kader partai menjajakan diri dan/atau partainya untuk dipilih sebagai anggota legislatif (a.n. perseorangan atau a.n partai untuk DPD dan a.n. partai untuk DPR).
2. Konstituen memilih figur yang dianggap cocok dengan aspirasinya.
Pertanyaan: Dapatkah 1 & 2 disebut “Kontrak Sosial” apabila pelaksana fungsi pemerintahan adalah Presiden? Janji (program) apa yang ditawarkan oleh kader partai dalam pemilu legislatif?
3. Calon presiden/wakil presiden mengkampanyekan visi dan program apabila dirinya terpilih sebagai pemenang.
4. Konstituen memilih siapa yang dinilai sesuai dengan aspirasinya.
Pertanyaan: Dapatkah 3 & 4 disebut “Kontrak Sosial” apabila kemudian ternyata visi dan program presiden terpilih berbeda atau bahkan berlawanan dengan visi mayoritas suara wakil partai di legislatif.
5. Apabila partai (koalisi) pemerintah menguasai mayoritas suara di parlemen maka, akibat adanya kesamaan kepentingan permanen antara presiden dan legislatif, pemerintahan bisa bersifat oligarkhis à Ketidakpuasan rakyat dalam bentuk paling ekstrim bisa berupa people power atau, dalam bentuk lunak, program pemerintah tidak efektif akibat apatisme/skeptisisme masyarakat.
b. Kemungkinan II:
Partai Oposisi (koalisi) menguasai mayoritas suara di parlemen.
Gambar 9
Keterangan:
1. Kader-kader partai menjajakan diri dan/atau partainya untuk dipilih sebagai anggota legislatif (a.n. perseorangan atau a.n partai untuk DPD dan a.n. partai untuk DPR).
2. Konstituen memilih figur yang dianggap cocok dengan aspirasinya àDapatkah 1 & 2 disebut “Kontrak Sosial” apabila pelaksana fungsi pemerintahan adalah Presiden? Janji (program) apa yang ditawarkan oleh kader partai dalam pemilu legislatif?
3. Calon presiden menawarkan/mengkampanyekan visi dan program apabila dirinya terpilih sebagai pemenang.
4. Konstituen memilih siapa yang dinilai sesuai dengan aspirasinya à Dapatkah 3 & 4 disebut “Kontrak Sosial” apabila kemudian ternyata visi dan program presiden terpilih berbeda atau bahkan berlawanan dengan visi mayoritas suara wakil partai di legislatif.
5. Apabila partai (koalisi) oposisi menguasai mayoritas suara di parlemen maka, pemerintahan labil akibat adanya pertentangan kepentingan permanen antara presiden dan legislatif àKetidakpuasan rakyat dalam bentuk paling ekstrim bisa berupa people power atau, dalam bentuk lunak, program pemerintah tidak efektif akibat apatisme/skeptisisme masyarakat.
Catatan (Untuk Kemungkian I dan II):
§ Untuk memenuhi persyatan UU calon-calon presiden dan wakil presiden adalah produk koalisi partai à Presiden/wakil presiden berasal dari kubu berbeda!
§ Dapakah dikategorikan sistem presidensial mengingat demikian kuatnya fungsi parlemen/DPR?
§ Pemilu untuk memilih presiden masih memilih figur yang sudah ada di permukaan, baik oleh jabatan politik, latar belakang keturunan, organisasi, lembaga tertentu. Tidak/belum pada pilihan atas visi dan/atau program.
4. Skema Proses Pembentukan Pemerintahan UUD 1945 (Original)
Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia, , Fokus Media, 2007, Gambar 07.
Gambar 10
Keterangan:
1. Presiden membuat UU dengan persetujuan DPR (Ps. 5.1.). Kedudukan DPR kuat, tidak bisa dibubarkan oleh presiden (Penjelasan Bab VII). Kedudukan DPR sejajar (neben) dengan presiden.
2. Anggota DPR merangkap sebagai anggota MPR (Ps. 2.1).
3. MPR memilih presiden. Presiden bertanggunjawab kepada MPR (Ps. 6.2)
4. (4? ) tidak jelas (dan tidak ada penjelasan) apa kriteria dan bagaimana proses Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) menjadi anggota MPR,.
Catatan:
§ UUD 45 “Kedaulatan Rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR” (Ps. 2) à Adakah kedaulatan apabila tidak dilaksanakan oleh dirinya sendiri?
§ “MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vetretungsorgan des Willens des Staatvolkes)”. (Penjelasan, Sistem Pemerintahan Negara, III) à Sulit dipahami sebuah lembaga (MPR), yang kriteria untuk menjadi anggota pun tidak jelas, merupakan penjelmaan rakyat.
§ “MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der Madjelis)”. (Penjelasan, Sistem Pemerintahan Negara, III). “MPR menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara”. (Ps. 3) à Fungsi MPR mirip dengan fungsi Kongres Rakyat atau Kongres Partai dalam sistem komunis (Uni Soviet, RRC, dll) (Vide: Ismail Suny, Prof, Dr, SH, MCL, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta 1986, h. 15 dan Wolhoff, Prof, Drs, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara Republik Indonesia, Timun Mas – Jakarta 1960 h. 79. Catatan HR: Bedanya, MPR lembaga tetap sedang Kongres Rakyat bubar selesai bersidang.
§ Presiden bertanggung jawab pada lembaga (vide: Poin 3 di atas) à Sulit dipahami mengapa UUD 45 dikategorikan sebagai sistem presidensial, tidakkah lebih bersifat parlementer? (presiden bertanggung jawab pada lembaga, MPR)
§ Poin 4? berkonsekuensi dalam praksis à setiap rezim bisa memiliki tafsir sendiri, a.l;
ü Bisa tidak (belum) ada MPR/DPR (s/d tiga bulan sejak awal pemberlakuan UUD 1945).
ü Bisa tidak ada MPR di era pemberlakuan Maklumat No X à KNIP difungsikan sebagai parlemen sebagaimana layaknya sistem parlementer (era 1945-1949).
ü Anggota MPR/DPR bisa langsung dipilih & diangkat presiden (era Soekarno pasca Dekrit Presiden-5 Juli 1959, 1959 – 1965).
ü Bisa hanya anggota DPR yang dilipih lewat pemilu, utusan daerah (UD) dan utusan golongan (UG) diangkat & dipilih presiden (era Soeharto, 1966-1998).
Kepustakaan;
– George Tsebelis, Veto Players¸ Russel Sage Foundation – Princeton. New Jersey, 2002.
– Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia, Fokus Media 2007 (termasuk daftar kepustakaannya).
– Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media 2007 (termasuk daftar kepustakaannya).
– Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik, Amandemen UUD ’45. Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat, Pancur Siwah 2002 (termasuk daftar kepustakaannya).
– Media cetak dan elektronik (termasuk internet).
– Mortimer J. Adler, The Common Sense of Politics, Foordham University Press, New York, 1971.
–
[1] Plato (429-347 SM) mengkhawatirkan demokrasi bisa menjurus menjadi mobokrasi (pemerintahan kaum gembel), Aristoteles (384-322 SM) berdasarkan kajian disejumlah, sekitar 150-200 polis (negara kota), menyimpulkan bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah bentuk merosot dari polity, sementara Polybius (204-122 SM) mengkhawatirkan apabila demokrasi dilaksanakan tanpa norma maka ia akan merosot menjadi okhlokrasi (pemerintahan secara liar oleh rakyat yang hina) (Vide: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007, h., 14, merujuk pada, Isjwara, F., SH, LL.M. Pengantar Ilmu Politik, Penerbit Binacipta, 1985, h. 188 ). George Santayana (1863-1952) meragukan efektifitas demokrasi. Menurutnya, pemerintahan terlalu kompleks dengan sejumlah masalah administrasi yang sangat luas yang membutuhkan penanganan secara bijak dan cerdas. (Vide: Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, 2007, h., 14, merujuk pada, Encyclopedia Americana 8, 1974)
[2] Legalitas tidak tergantung pada bentuk ataupun sifat pemerintahan juga bukan oleh demokrasi ataupun non demokrasi. Legalitas lebih ditentukan oleh kekuasaan de facto. Maka, sebagai contoh, produk hukum Louis XIV sah dan oleh karenanya mengikat warga. Produk hukum kaisar Cina sah, karena itu penyewaan 99 tahun atas Hongkong (Inggris) dan Makao (Portugis) tetap dihormati penguasa Cina sejak Sun Yatsen, Ciang Kaisek, Mao Zedong hingga Deng Xiaoping. Hongkong dan Makao kembali ke Cina setelah habis masa kontraknya.
[3] Peserta pemilu 1955 terdiri dari empat kelompok besar: Pertama, kelompok partai politik sebanyak 39 parpol; Kedua, kelompok organisasi sebanyak 46 buah; Ketiga , Kelompok Perorangan sebanyak 59 buah; dan Keempat Kelompok Kumpulan Pemilih sebanyak 56. (vide: www.forum-politisi.org/pusat_data/partai_politik/article)
[4] Yang juga menarik dan patut dicermati di sini adalah bahwa pemilu tidak dilakukan serentak. Konstituen bisa memilih lebih cermat karena pemilu lebih fokus.
[5] Atas dasar persepsi semacam itu, dengan dukungan penuh militer (AD, dipimpin KSAD Jenderal A.H. Nasution), Presiden Soekarno, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, memberlakukan kembali UUD 1945. Di atas landasan UUD 1945, Bung Karno memberlakukan sistem “Demokrasi Terpimpin” yakni sistem pemerintahan tanpa pemilu. Sejak itu hingga berakhirnya kekuasaan beliau (1966) Indonesia memasuki era kediktatoran.
[6] Pemilu era Orde Baru selalu berujung pada ‘dipilihnya’ kembali Pak Harto sebagai Presiden RI. Pemilu 1997 adalah pemilu terakhir Orde Baru. Presiden Soeharto untuk ke enam kalinya oleh MPR untuk periode masa jabatan 1997-2002. Akibat tekanan (gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa), Pak Harto terpaksa melepaskan jabatan kepresidenannya melalui apa yang disebut dengan “Lengser Keprabon”. Pak Harto menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden Habibie, tanpa pertanggungjawaban apapun.
[7] Bahkan konon, KPU tengah mengajukan biaya tambahan yang jumlah akhirnya bisa mencapai Rp 40 Trilyun
Rupanya Bung Hendarmin sangat konsisten dengan keyakinannya, penyakit utama bangsa adalah sistem bernegara. Mengharapkan pemimpin berkualitas dari hasil pemilu di atas sistem ‘semau gue’ bagaikan menggantang asap. Quo vadis……
Bernegara dengan sistem yang tidak jelas muaranya adalah ketidakpastian. Ketidakpastian menyebabkan high-cost economy.Pebisnis akan menambah safety factor lebih besar. Konsumen, artinya rakyat, yang paling dirugikan.
Penjelasan yg bagus, thanks to pak Hendarmin.
Terlebih penting apa yg harus diperbuat kedepan?
24 September ’12 lalu FORUM BANDUNG diterima pimpinan MPR (Ketua MPR Taufik Kiemas, Waka MPR Lukman Hakim, Waka MPR Melani). Intinya kami menyampaikan bahwa telah dan sedang terjadi situasi/kondisi ketidakpercayaan (distrust) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kondisi distrust tengah dialami lembaga tinggi negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan lembaga pelaksana kebijakan negara (birokrasi inc. kepolisian, dan lembaga militer). Kondisi distrust juga dialami oleh lembaga ‘penegak demokrasi’ yakni partai-partai politik. Atas situasi yang jelas membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara (negara terancam khaos) solusi tidak mungkin berasal dari yang tengah mengalami ketidakpercayaan tsb.
FORUM BANDUNG berpendapat bahwa solusi permasalahan bangsa harus dan hanya dapat dipecahkan oleh bangsa itu sendiri. Namun jelas tidak mungkin mengumpulkan 240 juta rakyat untuk berrembug. Karenanya harus ada unsur-unsur masyarakat yang masih dipercaya publik yakni mereka yang tidak memiliki ambisi kekuasaan/tidak memiliki kepentingan jangka pendek. Mereka adalah intelektual kampus, budayawan, tokoh masyarakat a.l. yang memahami masalah kenegaraan, pemuka adat dan/atau yang diakui memiliki pemahaman atas nilai-nilai kearifan lokal, dan pemuka agama yang dinilai sudah pada tahap memahami substansi makna agama.
Mereka diharapkan bisa bertemu dalam suatu event yang kami istilahkan sebagai “REMBUG NASIONAL”. Di sana seluruh permasalahan dasar berbangsa dan bernegara dibahas dan dikaji untuk ditemukan solusinya. Solusi dimaksud mencakup visi bangsa, visi politik, visi ekonomi, dan visi budaya. Hasil REMBUG NASIONAL seluruhnya disampaikan pada MPR untuk ditindaklanjuti. Usul/pendapat kami memperoleh apresiasi dari pimpinan MPR, khususnya Ka MPR Taufik Kiemas.
Terhadap ide tersebut FORUM BANDUNG membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun atau organisasi apapun, yang non partisan, yang peduli terhadap nasib dan masa depan bangsa, untuk menyampaikan usul dan/atau masukan.-
Salam.-
A,n, FORUM BANDUNG,
Hendarmin Ranadireksa
Seretaris Jenderal.