Feeds:
Posts
Comments

Look like who?

Indeed, Indonesia’s Economic Growth remains excellent, above average 6%. And it was claimed by Susilo Bambang Yudhoyono as his achievements in the economy program development.  Butwe note that since Bung Karno, the fisrt President of Indonesia as well as Soeharto era, Abdurahman Wahid  to Megawati, our economy grew more than 6% constantly per anum. So then we should question, justify that growth is the product of government policy? Our economist Faisal Basri, once said that our growth, without any government intervention at all. He said the Indonesia economy miracle. But I think this is as “natural growth”.

Then the question relating to the title of this topic is as follows:

1. Can you believe the President’s body?

2. Can you believe the political institutions?

3. Can you believe the bureaucrats?

4. Can you believe the law enforcement Bodies ?

When it’s all said “no”, then this country  remain  in dangerous and chaos.

So, who should make corrections to all this? Are those who have no interest with the powers, which have the conscience to Indonesia future more advanced, which have a  vision of the nation’s future.

Our Forum Bandung, Bandung is a group of scholars, is starting a moral movement and pressure on the related parties involved, for the better of the nation and the state.

 https://fbandung.wordpress.com

Pesan Akhir Tahun

Serangkaian pertemuan telah diadakan oleh Forum Bandung, dalam pertemuannya terakhir tanggal 26-27 Desember 2008, Forum berpendapat bahwa bangsa Indonesia tengah berada dalam keadaan yang sangat kritis karena ketidakpastian yang sangat besar di tahun 2009 dalam masalah ketatanegaraan, masalah politik, ekonomi, budaya berbangsa, dan ancaman krisis finansial global.

Oleh karena itu Forum mengharapkan adanya pemilu yang tidak hanya menghamburkan dana besar semata, namun pemilu yang dapat menghasilkan pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, visioner, transformatif, dan tidak permisif. Bangsa Indonesia mendambakan munculnya pemimpin yang dapat memecahkan masalah politik dan ekonomi di tahun-tahun mendatang.

* Untuk masa masa selanjutnya Kami mengajak segenap potensi bangsa untuk mempersiapkan sistem kenegaraan yang berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam berbudaya.

Bandung, 27 Desember 2008.

Penandatangan.

Prof. Dr. Sudjana Sapiie; Prof. Dr. Bambang Hidayat; Prof. Dr. M.T. Zen; Prof. Dr. Arief Sidharta;

Prof. Dr. Idrus Affandi;  Drs. Suharsono Sagir; Ir. Cecep Rukmana; Prof. Dr. Gede Raka;

Prof. Dr. Frans Mardi Hartanto; Prof. Dr. Sahari Besari; Prof. Imam Buchori; Dedy Widjaja;

Hj. Yuyu Udin; Darmawan Hardjakusumah SH, Not. (Acil Bimbo); Drs. Ali Syarief, MBA;

Drs. Musadad R. Said; D. Sumarna; Djadja Subagdja Husein;

Hendarmin Ranadireksa.

Memperhatikan perkembangan bangsa dan negara yang sedang dilanda konflik antara berbagai kepentingan, yang menjelmakan kondisi kehidupan rawan, tidak kondusif untuk pembangunan negara, maka kami kelompok pemerhati perkembangan masyarakat yang berada di Bandung yang mendambakan kehidupan lebih baik bagi bangsa dan negara di masa depan, setelah mengamati, mempelajari dengan  mendiskusikannya, berkesimpulan sebagai berikut :

1.Konflik yang telah terjadi antara kelompok legislatif dan eksekutif yang diarahkan kepada penyelesaian secara konstitusional, secara hakiki adalah suatu penyelesaian yang berat sebelah. Hal ini disebabkan  oleh karena pihak yang berkonflik dari kelompok legislatif merupakan bagian yang terbesar yang terlibat dalam penyelesaiannya. Dengan demikian sudah dapat dibayangkan bahwa pihak eksekutif akan sulit untuk mendapatkan suatu bidang permainan yang datar dalam penyelesaian konflik tersebut. Hal ini merupakan  suatu kelemahan dalam konstitusi kita pada saat ini.

2. Konflik antara kelompok eksekutif dan legislatif  pada dasarnya adalah konflik di bidang politik dan sebagai suatu proses politik ia akan sarat dengan ketidakpastian.  Hasil dari penyelesaian konflik tersebut menurut proses konstitusi yang berlaku, akan ada pada dua titik ekstrim :

3. Pada ekstrim pertama terjadinya penyelesaian secara politis yang akan mengakomodasikan berbagai kepentingan dengan akibat yang tidak akan menimbulkan gejolak di masyarakat.

4. Pada ekstrim kedua adalah bahwa kompromi politik tidak mungkin dan hasilnya merupakan konfrontasi dengan kekuatan ada di pihak legislatif. Keadaan demikian ini berpotensi terjadinya gejolak di masyarakat dengan berbagai akibat yang mungkin akan fatal bagi kehidupan negara bangsa.

5. Bila alternatif pertama yang terjadi, melalui berbagai kompromi politik yang mungkin, maka bangsa ini akan dapat menganggap konflik telah terselesaikan secara bijaksana dan ditemukan landasan baru untuk maju bersama ke depan, sambil belajar dari pengalaman yang didapatkan.  Dalam keadaan demikian ini maka kami akan sangat bersyukur dan mengamini keputusan tersebut, sambil menyukuri bahwa para pembina bangsa ini telah dikaruniai kebijakan untuk membawa bangsa ini dalam perjalanannya mengarungi kondisi pasca konflik melanjutkan pembangunan bangsa dan negaranya.

6. Sebaliknya bila ekstrim yang kedua akan terjadi maka bangsa ini akan dihadapkan pada kondisi yang sulit dalam keadaan yang mungkin akan sangat gawat. Bila hal ini terjadi maka suatu keadaan tercipta di mana langkah-langkah ekstra konstitusional mungkin harus dilakukan. Mengingat yang berkonflik adalah pihak-pihak legislatif dan eksekutif serta di mana konstitusi tidak memberi jalan keluar yang baik maka pada tempatnyalah bila pihak-pihak eksekutif maupun legislatif mengembalikannya kembali kepada rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan negara bangsa. Melalui pengembalian ini maka rakyat berkesempatan untuk mencari jalan yang terbaik untuknya.

7. Ekspresi kedaulatan rakyat ini akan harus dijelmakan melalui pemilihan umum baru dalam berbagai kemungkinan yang hasilnya akan harus menciptakan landasan baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Dengan tetap berpegang kepada keutuhan negara bangsa maka bentuk pemilihan umum yang bagaimana akan perlu dipersiapkan. Persiapan tersebut akan memerlukan adanya suatu penyelenggaraan negara secara transisional. Di masa transisi tersebut segala persiapan dilakukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang secepatnya.

8. Bagaimana keadaaan transisi demikian ini dapat diciptakan dengan menempatkan kedaulatan rakyat di atas segalanya, maka pemberlakuan dekrit oleh Presiden atau mekanisme UUD 1945 melalui pasal-pasalnya yang menyatakan negara dalam bahaya dapat dipergunakan. Konsekuensi logis dari adanya pemberlakuan keadaan darurat tadi adalah bubarnya parlemen (DPR, termasuk juga MPR) dan demisionernya pemerintahan. Kemudian harus dibentuk sebuah komite nasional dengan mandat terbatas dengan tugas menyelenggarakan pemilu.

9. Dengan prinsip-prinsip tersebut di atas yang masih mengandung berbagai nuansa yang perlu dikembangkan lebih lanjut maka  kami mengajak pihak-pihak yang perduli terhadap kelangsungan bangsa untuk bersama-sama berkumpul di Bandung dan membahas pemikiran pokok tersebut di atas untuk kemudian sampai kepada suatu tata cara penyelesaian konflik nasional ini secara bijaksana dan mengamankan perkembangan negara bangsa ke depan.

 

Bandung, 26 Juni 2001

Atas nama Forum Bandung :

Para penanda tangan:

Prof. Dr. S. Sapiie; Prof. Dr. Bambang Hidayat; Prof. Dr. M.T. Zen; Prof. Prof. Dr. Bana G. Kartasasmita; Prof. Dr. Gede Raka;

Prof. Dr.Sudardja Adiwikarta; Prof. Dr. Juhaya S.Praja;

Prof.Dr. Frans Mardi Hartanto; Ir. Martiono Hadianto;

S. Harkat Somantri, SH; Soeparwan G. Parikesit; Haraza Utama; Baktir Wahyudi; dr. Andy Talman Nitidisastro;

Hendarmin Ranadireksa;

 

Pendapat Forum Bandung

Kami pengamat pengembangan sosial  yang tergabung dalam FORUM BANDUNG, setelah mendiskusikan dengan saksama perkembangan negara kita, menyampaikan  pendapat kami sebagai suatu ungkapan patriotik rasional, berlandaskan integritas kami  sebagai pengamat independen.

Pertama-tama kami sadar bahwa korupsi sebagai  fitur sosial telah berkembang mencapai proporsi yang mengkhawatirkan dan membelit berbagai aspek kehidupan sosial dan menyatakan pengaruhnya kepada tata cara kita bernegara. Korupsi menyebabkan terjadinya distorsi pada berbagai parameter kehidupan di bidang politik, ekonomi dan budaya. Dalam lingkungan demikian itu terbentuk dua kelompok  dalam masyarakat; yang pertama adalah yang dapat memanfaatkan kesempatan,  sedangkan yang kedua adalah yang teralienasi dari padanya.

Pada kelompok teralienasikan itu timbul ketidakpuasan akut yang melahirkan tingkat ketidakpercayaan tinggi pada segala aspek penyelenggaraan negara,  sinis terhadap ungkapan stereotip pemegang kekuasaan dan penegakan hukum,  curiga pada integritas sektor privat, mempertanyakan legitimasi kekuasaan, sedangkan makna legalitas dilihatnya dalam bingkai moralitas yang kesenjangannya dirasakan sebagai realitas.

Perkembangan negara dan masyarakat kita telah terjadi dalam lingkungan yang terkontaminasi dengan korupsi sepanjang sejarahnya. Dalam lingkungan itu kita tumbuh dan berkembang dengan segala kemajuan, konflik dan moralitasnya, dalam batasan terpeliharanya polarisasi kedua kelompok masyarakat tersebut di atas. Suatu keadaan pengembangan yang mengandung unsur-unsur eksplosif, sebagai suatu kontes kecepatan antara kemajuan kesejahteraan dengan pertumbuhan kelompok teralienasikan. Sejarah kontemporer memperlihatkan bahwa siklus kehidupan sistem terpolarisasi  itu ada di sekitar tiga puluh tahunan.

Menghadapinya secara efektif memerlukan pendekatan  holistik isu-isu ketatanegaraan, ekonomi politik, budaya,  dengan mengakomodasikan kelompok teralienasikan sebagai partisipasi aktif secara demokratis terbuka.  Suatu pendekatan penuh dengan unsur-unsur konflik di dalamnya akan memerlukan kepemimpinan nasional yang mampu menginspirasikan kepercayaan pada skala luas, untuk menanggulanginya. Maka penanggulangannya akan merupakan suatu proses tersendiri yang perlu disiapkan secara tepat guna. Persiapannya akan mengandung unsur-unsur perubahan, diantaranya menginduksikan  suatu semangat kembali kepada idealisme bernegara dan keluar dari pragmatisme yang telah menjadi daya dorong kemajuan kita di masa lalu, melalui keseimbangan antara  mengejar kesejahteraan dengan membina semangat pembangunan  bangsa.

Dengan kesiapan  itu, kita akan masuk ke dalam masa pemilihan umum tahun 2014 dengan semangat baru, memunculkan orang-orang baru, menuju ke era baru karena tidak ada kekuatan yang dapat melawan ide perubahan bila saatnya telah tiba.

Bandung, November 2011.

Continue Reading »

BANDUNG, (PR).-
Proses Pemilihan Umum 2009 menyimpan banyak potensi konflik secara horizontal. Apalagi, bangsa Indonesia kini berada dalam keadaan “kritis” akibat tingginya ketidakpastian, baik dalam masalah ketatanegaraan, politik, ekonomi, budaya, maupun ancaman krisis finansial global.
“Potensi konflik pada pemilu itu harus selalu diwaspadai dan segera diantisipasi. Caranya, antara lain dengan memberikan informasi dan sosialisasi yang lebih jelas dan terperinci kepada publik,” kata Sekjen Forum Bandung Hendarmin Ranadireksa, dalam pertemuan Forum Bandung, di Hotel Sawunggaling Bandung, Selasa (30/12).

Hadir beberapa intelektual senior yang tergabung dalam Forum Bandung pada pertemuan tersebut, di antaranya Prof. Dr. Sudjana Sapiie, Drs. Suharsono Sagir, Dedy Widjaja, Hj. Yuyu Udin, Drs. Ali Syarief, D. Sumarna, dan Djadja Subagja Husein. Sebelumnya, Forum Bandung menggelar rangkaian pertemuan pada 26-27 Desember 2008.

Menurut dia, tugas utama Komisi Pemilihan Umum adalah untuk memberi arahan secara konkret kepada masyarakat. Oleh karena itu, KPU tidak boleh membuat aturan yang ruwet.
Terkait kondisi bangsa yang masih memprihatinkan, menurut Hendarmin, Forum Bandung mengharapkan ajang pemilu tidak hanya menghamburkan dana besar, tetapi dapat menghasilkan pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, visioner, transformatif, dan tidak permisif.

“Bangsa Indonesia mendambakan munculnya pemimpin yang bisa memecahkan masalah politik dan ekonomi pada tahun-tahun mendatang,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, kekhawatiran munculnya konflik horizontal sangat beralasan, terutama jika menilik sejumlah pemilihan kepala daerah yang rawan konflik. Ditambah lagi, kondisi ekonomi nasional yang lesu terkena imbas krisis global.

“Pemilu seharusnya tidak sekadar bertujuan untuk pemilu, tapi bisa lebih mengedepankan upaya mengatasi kondisi riil yang dihadapi bangsa,” katanya.

Pemahaman itu sangat penting, tutur Hendarmin, mengingat Pemilu 2009 menelan biaya sangat besar mencapai Rp 22,6 triliun. Belum lagi, biaya yang dikeluarkan calon, baik untuk pemilihan legislatif, DPRD (provinsi dan kabupaten/kota), maupun untuk pemilihan presiden. (A-68)***